Kebijakan Alternatif untuk Mengatasi masalah korupsi
Lihat Foto
logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK.
KOMPAS.com
– Tindak pidana korupsi masih menjadi permasalahan pelik di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai indeks persepsi korupsi yang cukup tinggi. Periode tahun 2014 – 2017, perkara korupsi yang ditangani KPK sebanyak 618 kasus.
Transparency International Indonesia mengeluarkan indeks persepsi korupsi yang menunjukkan bahwa posisi Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara pada awal tahun 2022.
Perilaku korupsi di Indonesia sangat terkait erat dengan dimensi penyuapan, pengadaan barang dan jasa, serta penyalahgunaan anggaran yang umumnya dilakukan oleh pihak swasta dan pegawai pemerintahan.
Oleh karena itu, upaya pencegahan korupsi sangat diperlukan. Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata.
Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalisasi tindak korupsi. Upaya pencegahan korupsi dapat dlakukan secara preventif, detektif, dan represif.
Baca juga: KPK Serahkan 4 Bidang Tanah Rampasan Korupsi ke Pemkab Bangkalan
Upaya pencegahan preventif dan represif agar tindak korupsi tidak lagi terjadi adalah meminimalisasi faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi dan mempercepat proses penindakan terhadap pelaku tindak korupsi.
Daftar Isi Utama:
Strategi Preventif
Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisasi penyebab dan peluang seseorang melakukan tindak korupsi.
Upaya preventif dapat dilakukan dengan:
- Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
- Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya.
- Membangun kode etik di sektor publik.
- Membangun kode etik di sektor partai politik, organisasi profesi, dan asosiasi bisnis.
- Meneliti lebih jauh sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.
- Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia atau SDM dan peningkatan kesejahteraan pegawai negeri.
- Mewajibkan pembuatan perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah.
- Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen.
- Penyempurnaan manajemen barang kekayaan milik negara atau BKMN.
- Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
- Kampanye untuk menciptakan nilai atau value secara nasional.
Strategi Detektif
Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat, dan biaya murah. Sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Sejak adanya KPK, dilihat dari tampilan kinerjanya, harus diakui telah banyak oknum pejabat yang dijebloskan ke bui. Akan tetapi, berdasarkan liputan media massa tentang oknum-oknum pejabat yang terlibat kasus korupsi, bukannya berkurang tetapi semakin bertambah.Ini menunjukkan bahwa kehadiran KPK dan putusan hukuman yang dikenakan, efek jeranya belum bermakna pengaruhnya terhadap oknum-oknum pejabat lainnya yang setiap hari bertambah (tersangka-tersangka baru).Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia melalui penegakkan hukum sudah sampai pada kesimpulan keputusasaan, atau sudah hampir pasti tidak ada hasil yang didapatkan.Seperti apakah tipe penegakkan hukum di tanah air ? Prof. Satjipto Rahardjo, SH seorang ahli hukum dari Undip Semarang, mengatakan Indonesia kini membutuhkan suatu tipe penegakkan hukum yang disebut penegakkan hukum progresif, akibat penggunaan hukum modern yang kurang benar, karena dewasa ini demoralisasi hukum kian terjadi sejak orang secara tajam memisahkan antara hukum dan moral.Bahwa ada anggapan persoalan moral harus dikesampingkan dalam wacana hukum. Jika demikian merupakan suatu pengingkaran terhadap makna hukum itu sendiri (inti hukum) adalah moral atau moralitas yang berisi nilai-nilai keadilan dan kebenaran dan nilai-nilai kemuliaan lainnya. Boleh jadi inilah akar masalah (the nature of caused) atas matinya hukum dalam memberantas kejahatan korupsi (pidana khusus) di Indonesia. Bahwa pemberantasan korupsi melalui penegakkan hukum tidak lepas kaitannya dengan aspek-aspek kebudayaan dan politikSingkatnya, perspektif kebudayaan ini tidak melihat nilai dan norma sebagai kondisi bagi hubungan sosial (diimplementasi dalam aksi baik sebagai birokrat maupun politisi atau pejabat) atau sebaliknya, melainkan berinteraksi dan saling meneguhkan.Apabila dikaitkan dengan demoralisasi hukum di negeri kita, misalnya penggunaan tipe hukum formalistik prosedural, populer dengan ungkapan “azas praduga tak bersalah” yang dikenakan kepada setiap orang terdakwa sebelum di vonis di pengadilan, maka sang terdakwa akan dipertahankan hambis-habisan melalui proses hukum, naik banding sampai peninjauan kembali (PK). Artinya, seorang pejabat tinggi yang sedang diadili dalam perkara korupsi, bahkan ada yang sudah meringkuk ditahanan dan sudah diputus dipengadilan bersalah, tetap menduduki jabatannya dengan dalih azas praduga tak bersalah tersebut. Dikemukakan oleh Prof. Rahardjo, dalam konteks penegakkan hukum progresif pejabat tinggi itu sudah bersalah karena melakukan demoralisasi hukum. Sehubungan dengan ini, di samping kendala struktural atas tipe hukum formalistik prosedural yang sudah mengakar kurang lebih seratus tahun di negeri ini, juga karena makna budaya hukum, tidak sama sekali dibumikan dalam praktek perkara penegakkan hukum di pengadilan. Dengan kata lain, kedua hal tersebut secara interaksional tidak saling meneguhkan, yaitu antara cultural bias (nilai-nilai moral keadilan dan kebenaran hukum UU Anti Korupsi) dan social practice (implementasi penegakkan hukum secara ‘progresif’).Padahal seperti apa yang telah disinggung di atas, inti hukum termasuk hukum modern, adalah moral atau moralitas yang menekankan pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dan nilai-nilai kemuliaan lainnya.Amerika Serikat yang amat liberal sudah bicara mengenai adanya nurani pengadilan (the conscience of the court). Di sini tentunya hukum harus digunakan secara kreatif, inovatif. dan agresif untuk mencapai tujuan yang telah dipastikan.Sebab, aturan-aturan hukum positif di Indonesia sebagai produk kebudayaan (dominan pengaruh budaya kolonial) yang sudah ratusan tahun umurnya, bukanlah sesuatu yang sakral dan dogmatis yang sama sekali tidak boleh digunakan secara kreatif, inovatif, dan progresif. Dengan kata lain, , hukum sebagai pengetahuan bukanlah sesuatu yang absolut untuk dimangut-mangut, tetapi bisa dikalahkan.Menyadari, bahwa alternatif penegakkan hukum progresif di atas kemungkinan akan ditentang oleh praktisi hukum kita (hakim, jaksa, pengacara/advokat, dan lain-lain), bahkan secara akademik akan ditolak oleh ilmuwan/teoritisi hukum penganut filsafat hukum liberal, maka diperlukan alternatif lain yang bersifat jangka panjang, yaitu Model Strategi Budaya Berantas Korupsi.Model Strategi Kebudayaan Memberantas Korupsi. Model ini mengisyaratkan, ada dua hal penting yang mendesak perlu dipertimbangkan dalam rangka memberantas kejahatan korupsi di negeri kita, yaitu (1) Membangun “budaya malu” di tengah masyarakat berkenaan dengan upaya memberantas korupsi, (2) Membangun “budaya kemauan politik” yang sungguh-sungguh dari rezim yang bersangkutan dalam memberantas korupsi.Membangun “budaya malu” demi mencegah perilaku Korupsi. Sebagai tindak lanjut untuk membangun “budaya malu” di masyarakat, secara konseptual terdadat lima langkah strategi kebudayaan memberantas korupsi, adalah sebagai berikut:Pertama, dalam konteks pendidikan, melalui kewenangan legislasi DPR RI segera mendesak eksekutif/pemerintah (Depdiknas) agar mengartikulasikan isu korupsi sebagai aspirasi publik di masukkan ke dalam kurikulum nasional mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Hal ini mengingat karena keberadaan penyakit korupsi di tanah air sudah membudaya sehingga mengancam masa depan negeri ini sebagai bangsa yang beradab. Lagi pula diasumsikan penyakit korupsi ini sudah sangat sulit untuk diberantas atau diputus penyebarannya pada generasi masa kini dan akan datang.Untuk itu perlu membangun “budaya malu” melalui sosialisasi di tingkat pendidikan formal. Dan mata pelajaran korupsi secara tematik difokuskan pada : “Korupsi adalah suatu perbuatan tercela, mencemarkan nama keluarga dan merusak nama bangsa”. Begitu juga di perguruan tinggi, isu korupsi ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum nasional mengganti mata kuliah kewiraan, dan secara tematik menekankan pada : “Korupsi adalah suatu fenomena kekuasan memanipulasi aturan hukum, berimplikasi pada stabilitas politik, dan kesenjangan sosial. Jika pemerintah pusat tidak menanggapi, maka melalui momentum otonomi daerah, kepada pemerintah propinsi/kota/kabupaten bisa mengakomodir dan memasukkannya ke dalam kurikulum lokal.Ini semua tentu terpulang sikap – komitmen kita sebagai anak bangsa yang peduli terhadap masa depan negeri ini. Kedua, dalam konteks kehidupan sosial-politik, perlu diaktualisasikan pemberian sangsi sosial kepada siapa saja yang ketahuan (terbukti) berperilaku korupsi (memberi suap – menerima suap, dan nepotisme). Khusus tentang nepotisme, sungguh sudah menjadi bagian dari tradisi aktual partai-partai politik di Indonesia suami, istri, anak, ipar, adik-kakak (politik-dinasti) diberi peluang serta secara demokratis tidak dipersoalkan menjadi pengurus partai politik yang sama. Bahkan dianggap sah-sah saja jika ayah menjadi bupati, istri atau anak jadi anggota dewan. Padahal dalam konteks demokratisasi, tradisi nepotisme, teman/kolega (tim sukses) ini sangat mempengaruhi berlangsungnya mekanisme pengawasan kekuasaan legislatif terhadap eksekutif (check and balance) yang pada akhirnya berimplikasi pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).Sehubungan dengan isu nepotisme di atas, tidaklah relevan menjustifikasi politik nepotismenya melalui kasus George Bush (presiden) dan keluarga Gore (congres), di mana putra-putra mereka selain menjadi kandidat dan presiden (Al Gore kandidat presiden dan George W Bush presiden). Demikian juga, kasus di India (keluarga Gandi) dan Pakistan (keluarga Bhuto).Tapi, secara objektif, dilihat dari latarbelakang kualitas pendidikan-professional politik dan proses rekruitmen politik yang mereka lalui jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh putra-putri petinggi partai di negeri ini. Diakui atau tidak, kondisi budaya politik neo-feodalisme masih teguh dalam praksis-politik .Ketiga, dalam konteks kehidupan keagamaan, digencarkan dalam khotbah-khotbah menyerukan bahwa korupsi itu adalah perbuatan setan dan dikutuk Tuhan. Misalnya salah satu perintah Hukum Tuhan yang harus ditaati adalah, ‘jangan mencuri atas milik orang lain’ (termasuk perbuatan korupsi identik dengan mencuri uang rakyat). Hal ini perlu diperhatikan oleh organisasi-organisasi keagamaan yang ada di tanah air secara lintas-agama untuk menyatakan kesakralannya sebagai terowongan iman dalam menuntun perilaku pihak-pihak tertentu yang rentan terserang virus korupsi. Agama harus berani menolak sekiranya ada bantuan dari oknum-oknum tertentu yang sudah secara pasti terindikasi koruptor (pejabat dan pengusaha hitam).Keempat, dalam konteks komunikasi massa, perlu melaksanakan aksi kampanye nasional dan lokal mengenai pemberantasan korupsi, melalui kegiatan-kegiatan seperti menyebarkan pamlet atau stiker anti korupsi di tempat-tempat umum, kendaraan roda empat, di media-media massa (TV, Koran); mengadakan forum-forum diskusi atau dialog interaktif setiap ada perkara korupsi yang digelar di pengadilan; kemudian mengadakan kegiatan kampanye secara massal di tempat terbuka (stadion) dengan melibatkan tokoh atau figur publik dan selebritis.Membangun Budaya Kemauan Politik, menurut Lord Acton (1952) dalam Brasz (1963), pernah menyatakan, “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak”, mengimplikasikan bahwa korupsi memang dimasukkan kategori kekuasaan tanpa aturan hukum. Siapa pun yang memiliki kekuasaan, rentan dengan korupsi. Untuk itu, pada era reformasi transisi, kepada rezim-peguasa di negeri ini agar tidak buta hati atau mati rasa, betapa penyakit korupsi di negeri ini sudah pada tahap stadium mematikan.Seperti yang pernah diekspresikan oleh Presiden Megawati, di samping kritiknya kepada pemerintahannya ibarat keranjang sampah. Begitu juga juga antipatinya terhadap pekerjaan korupsi yang melanda negeri ini, yang pernah dikatakan para koruptor itu adalah “pencuri-pencuri”. Pada tingkat sikap, apa yang diekspresikan oleh mantan Presiden Megawati, menunjukkan adanya kemauan politik.Akan tetapi pada kenyataannya sebagaimana pengalaman kekuasaan rezim reformasi (Megawati dan SBY), ‘budaya politik’ yang ditunjukkan dalam sikap memberantas kejahatan korupsi (kemauan politik) selama ini terkesan retorik atau belum maksimal dibumikan oleh aparat hukumnya.Institusi KPK yang dipandang oleh publik kinerjanya berani berantas korupsi tanpa pandang bulu, sejumlah anggota DPR-RI 2004-2009, oknum-oknum gubernur/bupati/walikota, kejaksaan, pejabat BI termasuk besan Presiden, berhasil dijebloskan ke bui).Tapi ironisnya melalui kasus Bank Century makna prestasi KPK di-kriminalisasi oleh oknum-oknum rezim SBY, atas sangkaan terlibat dalam jaring kasus Bank Century, tapi berkat tekanan public secara bergelombang akhirnya Bibit – Chandra dibebaskan. Demikian juga dalam konteks penempatan pejabat tinggi negara penegak hukum, harus “sapu-sapu bersih” alias orang yang tepat. Sudah sejak abad ke sepuluh Wang An Shih mengatakan tidaklah mungkin penyelamatan pemerintahan yang layak (memberantas korupsi) dengan cuma mengandalkan pada kekuatan hukum untuk mengendalikan para pejabat, sementara mereka sendiri bukan orang yang tepat untuk pekerjaannya.Bersamaan dengan ini, diupayakan penambahan pendapatan atau honor terlebih kepada aparat penegak hukumnya. Tentunya negara harus menyiapkan honor tersebut. Ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya mafia peradilan atau lebih popular disebut makelar kasus (markus).Gus Dur mantan presiden RI sudah mulai berusaha menerapkan politik birokrasi “sapu bersih”, antara lain menaikkan tunjangan pejabat, tapi sayang cita-citanya untuk memberantas korupsi setinggi puncak Monas, tapi sayang kaki hanya hanya sampai di Ciganjur.Dengan demikian, sangatlah bijaksana apabila budaya kemauan politik dari siapa pun rezim yang berkuasa, berani vocal bahwa “hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Orang melanggar hukum (korupsi) dihukum tanpa ada kompromi, apalagi adanya deal-deal politik demi untuk mempertahankan kekuasaan belaka (mafia hukum). Seorang pejabat yang berani menyatakan “Membangun Tanpa Korupsi”, pada tingkat sikap adalah positif, asalkan tidak bias kepentingan politik atau hanya sekedar jargon politik yang dijadikan bagian dari strategi manipulatif demi pencitraan semata.Alternatif Pembuktian TerbalikSebagai refleksi atas kondisi objektif isu penegakkan hukum terhadap kejahatan korupsi di Indonesia, tidak cukup hanya dengan kritikan dan keluhan-keluhan semata.Untuk itu, kepada siapapun rezim yang berkuasa segera (urgen) memanifestasikan retorik “budaya politik” tersebut dalam tindakan politik nyata (kebijakan). Sebagai alternatif, antara lain, dengan menerapkan UU Anti Korupsi “pembuktian terbalik”, mendorong terbentuknya pansus-pansus (angket) yang berkaitan dengan skandal-skandal korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi negeri. Kemudian memberi hukuman seberat-beratnya kepada setiap koruptor tanpa pandang bulu, kalau perlu hukuman mati (seperti yang dilakukan oleh rezim komunis Cina), agar ada efek-jera dan memenuhi rasa keadilan hukum di masyarakat (seorang yang mencuri ayam karena alasan kelaparan/kemiskinan dihukum empat tahun penjara, sementara koruptor milyar rupiah diputus hanya dua tahun).Merombak pilar hukum “azas praduga tak bersalah” dengan diterapkannya UU Anti Korupsi berdasarkan sistem pembuktian terbalik. Sebagai informasi, bahwa pada era rezim Gus Dur-Megawati telah dibuat UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bagian pendahuluan antara lain dirumuskan, dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.Masalahnya mengapa UU Pembuktian Terbalik ini tidak dilanjutkan oleh Presiden Megawati dan mengapa pula Presiden SBY tidak mendiskursuskan dalam praksis sosio-politiknya atau menerjemahkan dalam kebijakan ?.“cara mengapa kejahatan selalu menang,karena ada banyak orang baik yang cenderung diam (apatis)â€
* dosen Antropologi Fisip Unsrat
Copyright © ANTARA 2022